6 Bangunan Termegah Peniggalan Belanda di Indonesia
Berikut ini adalah 6 Bangunan Termegah Peninggalan Masa Pemerintahan Belanda di Indonesia , yuk baca lebih lanjut :D
01. Lawang Sewu
Masyarakat
setempat menyebutnya Lawang Sewu (Seribu Pintu) dikarenakan bangunan
tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada
tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi
dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu
(lawang).
Bangunan kuno dan megah berlantai dua ini setelah kemerdekaan dipakai
sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau
sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai
Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan
Kantor Wilayah (Kanwil)Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa
perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika
berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober - 19
Oktober 1945).
Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA
atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang.
Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota
Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102
bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.
02. Villa Isola
Villa Isola adalah bangunan villa yang terletak di kawasan pinggiran
utara Kota Bandung. Berlokasi pada tanah tinggi, di sisi kiri jalan
menuju Lembang(Jln. Setiabudhi), gedung ini dipakai oleh IKIP (Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung, yang sekarang menjadi Universitas
Pendidikan Indonesia-UPI). Villa Isola adalah salah satu bangunan
bergaya arsitektur Art Deco yang banyak dijumpai di Bandung.
Villa Isola dibangun pada tahun 1933, milik seorang hartawan Belanda
bernama Dominique Willem Berretty. Kemudian bangunan mewah yang
dijadikan rumah tinggal ini dijual dan menjadi bagian dari Hotel Savoy
Homann. Perkembangan selanjutnya, ia dijadikan Gedung IKIP (sekarang
UPI) dan digunakan sebagai kantor rektorat.
Suatu publikasi khusus pada masa Hindia Belanda untuk villa ini ditulis
oleh Ir. W. Leimei, seorang arsitek Belanda. Dalam publikasi ini, Leimei
mengatakan bahwa di Batavia ketika urbanisasi mulai terjadi, banyak
orang mendirikan villa di pinggiran kota dengan gaya arsitektur klasik
tetapi selalu beradaptasi baik dengan alam dan ventilasi, jendela dan
gang-gang yang berfungsi sebagai isolasi panas matahari. Hal ini juga
dianut oleh Villa Isola di Bandung. Pada masa pendudukan Jepang, Gedung
ini sempat digunakan sebagai kediaman sementara Jendral Hitoshi Imamura
saat menjelangPerjanjian Kalijati dengan Pemerintah terakhir Hindia
Belanda di Kalijati, Subang, Maret 1942. Gedung ini dibangun atas
rancangan arsitek Belanda yang bekerja di Hindia Belanda Charles Prosper
Wolff Schoemaker.
03. Gerbang Amsterdam
Gerbang Amsterdam (Belanda: Amsterdamsche Poort) disebut juga
Pinangpoort (Gerbang Pinang) atau Kasteelpoort adalah gerbang sisa
peninggalan benteng VOC semasa J.P. Coen. Pada pertengahan abad ke-19,
gerbang ini merupakan sisa satu-satunya dari benteng yang dihancurkan
dan mulai ditinggalkan semasa gubernur Jenderal HW Daendels. Gerbang ini
pernah mengalami beberapa kali pemugaran. Gubernur Jenderal Gustaaf
Willem baron van Imhoff (1743-1750) pernah merenovasi benteng bagian
selatan termasuk gerbang Amsterdam dengan gaya Rococo.
Kemudian,
sepeninggal Daendels, gerbang ini dipugar pada kurun waktu antara 1830
dan 1840. Patung dewa Mars dan dewi Minervaditambahkan pada gerbang ini.
Kedua patung itu kemudian hilang semasa pendudukan Jepang di Indonesia.
Bangunan ini dihancurkan seiring dengan mulai beroperasinya trem kereta
kuda April 1869 di kawasan tersebut. Lokasi saat ini gerbang tersebut
berada di persimpangan Jalan Cengkeh (Prinsenstraat), Jalan Tongkol
(Kasteelweg), dan Jalan Nelayan Timur (Amsterdamschegracht) sekarang.
Dalam rencana revitalisasi Kota Tua, replika gerbang ini akan dibuat
walaupun tidak diketahui apakah akan berada di tapak yang sama
04. Museum Bank Mandiri
Berdiri tanggal 2 Oktober 1998. Museum yang menempati area seluas 10.039
m2 ini pada awalnya adalah gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij
(NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik
Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan.
Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dinasionalisasi pada tahun 1960
menjadi salah satu gedung kantor Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN)
Urusan Ekspor Impor. Kemudian bersamaan dengan lahirnya Bank Ekspor
Impor Indonesia (BankExim) pada 31 Desember 1968, gedung tersebut pun
beralih menjadi kantor pusat Bank Export import (Bank Exim), hingga
akhirnya legal merger Bank Exim bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank
Bumi Daya (BBD) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank
Mandiri (1999), maka gedung tersebut pun menjadi asset Bank Mandiri.
05. Museum Nasional
Cikal bakal museum ini lahir tahun 1778, tepatnya tanggal 24 April, pada
saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
J.C.M. Radermacher, ketua perkumpulan, menyumbang sebuah gedung yang
bertempat di Jalan Kalibesar beserta dengan koleksi buku dan benda-benda
budaya yang nanti menjadi dasar untuk pendirian museum.
Di masa pemerintahan Inggris (1811-1816), Sir Thomas Stamford Raffles
yang juga merupakan direktur dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen memerintahkan pembangunan gedung baru yang terletak di
Jalan Majapahit No. 3. Gedung ini digunakan sebagai museum dan ruang
pertemuan untuk Literary Society (dahulu bernama "Societeit de
Harmonie".) Lokasi gedung ini sekarang menjadi bagian dari kompleks
Sekretariat Negara.
06. Museum Seni Rupa dan Keramik
Gedung yang dibangun pada 12 Januari 1870 itu awalnya digunakan oleh
Pemerintah Hindia-Belanda untuk Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng
Batavia (Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia). Saat
pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan sekitar tahun1944, tempat
itu dimanfaatkan oleh tentara KNIL dan selanjutnya untuk asrama militer
TNI.
Pada 10 Januari 1972, gedung dengan delapan tiang besar di bagian depan
itu dijadikan bangunan bersejarah serta cagar budaya yang dilindungi.
Tahun 1973-1976, gedung tersebut digunakan untuk Kantor Walikota Jakarta
Barat dan baru setelah itu diresmikan oleh Presiden (saat itu) Soeharto
sebagai Balai Seni Rupa Jakarta.
Pada 1990 bangunan itu akhirnya digunakan sebagai Museum Seni Rupa dan
Keramik yang dirawat oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.
No comments:
Post a Comment